Contoh Silabus Bahasa Arab

SILABUS PEMBELAJARAN
NAMA MADRASAH :(nama sekolah )

MATA PELAJARAN : BAHASA ARAB

ALOKASI WAKTU      : 12 JAM MATA PELAJARAN [ 6 X TM X 45 menit
NO
ASPEK SILABUS
DISKRIFSI ISI SILABUS
A
Setandar kompetensi
Memahami informasi lisan berbentuk paparan atau dialog perkenalan
B
Kompetensi dasar
1.1.Mengidentifikasi bunyi , ujaran ( kata ,frasa atau kalimat ) dalam   satu konteks tepat dalam perkenalan .
1.2.Menangkap makna dan gagasan atau ide dari berbagai bentuk wacana lisan secara tepat tentang perkenalan .
C
Indikator hasil belajar
Setelah proses pembelajaran diharapkan Siswa mampu :
·         Membaca bahan qira’ah dengan lapal dan intonasi yang baik dan benar tentang perkenalan
·         Menjawab pertanyaan tentang pemahaman berbentuk objektif mengenai kandungan bahan qira’ah .
·         Membedakan  اسم  معرفة dan اسم  نكرة
·         Mengenal  مبتدا خبر
D
Tujuan pembelajaran
Membaca bahan qiro’ah tentang pekenalan dengan menggunakan 25 mufrodat dan sturuktur kalimat yang mengandung dentuk kata اسم  معرفة dan اسم  نكرة
E
Materi pokok
·         Kosa kata tentang perkenaan
·         Stuktur kalimat yang mengandung اسم  معرفة dan اسم  نكرة
·         Qiroa’h tentang perkenalan
·         مبتدا خبر
F
Metode pembelajaran
Ceramah dengan variasi tanya jawab dan metode Sami’ah safawiyah .
G
Sumber belajar , bahan dan alat
1.    Lembar peraga yang berisi peta konsep sesuai materi ajar.
2.   Buku referensi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
3.    Artikel yang sesuai dengan materi yang diajarkan
4.                                         Lembaran kegiatan siswa “ Hikmah “ forum Guru Bina PAI .
H
Penilaian
Kognitip , apektif , psikomotor
Sukabumi , 3 okotober 2011
Mengetahui
Kepala sekolah
(……………….)
NIP…………


Penyusun
Guru Bahasa Arab
(…………)
NIP :……….

 contoh silabus bahasa brab

Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bahasa arab

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

NAMA MADRASAH   : …..             (nama sekolah )
MATA PELAJARAN  : BAHASA ARAB
KELAS/SEMESTER   : X (SEPULUH) / I (GANJIL)
ALOKASI WAKTU     : 2 JAM PELAJARAN (1 x TM)
PERTEMUAN KE       : 1 ( SATU )

Standar Kompetensi      : Memahami infor masi lisan berbentuk paparan atau dialog


Kompetensi Dasar         :      1. Mengidentifikasi bunyi , ujaran (kata ,frasa atau kalimat ) dalam   satu konteks tepat dalam perkenalan .
2.  Menangkap makna dan gagasan atau ide dari berbagai bentuk wacana lisan secara tepat tentang perkenalan .

Indikator                        : 1. Membaca bahan qira’ah dengan lapal dan intonasi yang baik dan benar tentang perkenalan
                                           2.  Menjawab pertanyaan tentang pemahaman berbentuk objektif mengenai kandungan bahan qira’ah .
3.  Melakukan tanya jawab tentang perkenalan (تعارف )
  4.   Menjelaskan  اسم  معرفة dan اسم  نكرة  yang terdapat dalam kalimat 
6.               Menjelaskan مبتدا خبر
1.             Tujuan Pembelajaran :          
                                                 Setelah proses pembelajaran diharapkan Siswa mampu :
a.       Membaca bahan qira’ah dengan lapal dan intonasi yang baik dan benar tentang perkenalan
b.      Menjawab pertanyaan tentang pemahaman berbentuk objektif mengenai kandungan bahan qira’ah .
c.       Berkenalan dengan bahasa Arab (تعارف )
d.      Mendskripsikan اسم  معرفة dan اسم  نكرة
e.       Mengidentifikasi مبتدا خبر

2.             Materi Pembelajaran  :
a.    kosa kata ( مفردات )
b.    تعارف
c.    percakapan
d.     اسم  معرفة dan اسم  نكرة
e.    Susunan stuktur kalimat مبتدا خبر
f.     القراءة

3.             Metode Pembelajaran   :
a.       Ceramah dengan variasi tanya jawab
b.      metode Sami’ah safawiyah .

4.             Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran:
1.        Kegiatan Pendahuluan
a.    Mengamati dan mengarahkan sikap siswa agar siap memulai pelajaran.
b.    Mengawali pembelajaran dengan mengucapkan salam dan berdo’a.
c.    Mengingatkan pelajaran yang telah diterima dan mengaitkan pada pelajaran baru.
d.   Penjelasan singkat tentang tujuan dan proses pembelajaran yang akan dijalani siswa.

2.        Kegiatan Inti
a.    Guru bicara sesuai materi dan murid mendengarkan .
b.    Siswa menirukan ungkapan yang telah di sampaikan guru .
c.    Guru menciptakan suasana kelas seolah-olah berada dalam lingkungan sesungguhnya
d.   Menyiapkan evaluasi yang berkesinambungan .
e.    Guru berusaha menyeimbangkan waktu untuk berlatih untuk berlatih mengungkapakan apa yang telah didengar .

3.        Kegiatan Penutup
a.    Memberikan penegasan atau menyimpulkan materi yang sudah dipelajari
b.    Memberikan tugas mandiri untuk mendalami materi ajar.




Alat/Bahan/Sumber Belajar:
1.    Lembar peraga yang berisi peta konsep sesuai materi ajar.
2.    Buku referensi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
3.    Artikel yang sesuai dengan materi yang diajarkan.
Teknik Penilaian 
tes Lisan
menghapal mufrodat atau kosa kata .


                                                Sukabumi, 4 Oktober 2011

            Mengetahui,
Kepala Sekolah




           
                                                      

Guru Bahasa Arab

Teori Keadilan Pandangan Filsafat Hukum Islam

  Teori keadilan menurut filsafat hukum Islam
a.  Keadilan ilahiyah: dialektika muktazilah dan asy’ariah Gagasan  Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah  rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah).  


Pada  optik  inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan  Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan  ilahiah, dan  perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah. Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk
merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar  – yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Ini merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. 


Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis. 

Pendirian Mu`tazilah tentu mendapat tentangan. Kaum Asy`ariah menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan , dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori -kategori
yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan manusia. Lebih realistis untuk mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan hasil kehendak-Nya, tanpa penjelasan atau pembenaran. Namun, penting untuk membedakan antara tindakan manusia yang bertanggung jawab dan gerakan–gerakan yang dinisbahkan kepada hukum-hukum alam. Tanggung jawab manusia bukan merupakan hasil pemilihan bebas,  suatu fungsi yang, menurut Mu`tazilah, menentukan cara bertindak yang dihasilkan. Namun hanya Allah semata-mata yang menciptakan segala tindakan secara langsung. Tetapi, dalam beberapa tindakan, suatu kualitas tindakan sukarela digantikan kehendak Allah, yang
menjadikan seseorang sebagai wakil sukarela dan bertanggung jawab.  Karenanya, tanggung jawab manusia merupakan hasil kehendak  ilahiah yang diketahui melalui bimbingan wahyu. Kalau tidak, nilai -nilai tidak memiliki dasar selain kehendak Allah yang mengenai nilai-nilai itu.

Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal  sebagai subyektivisme teistis,  yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk  wahyu yang kekal dan tak berubah. Kedua  pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendah  ilahiah di muka bumi. 

Di satu pihak,  al-Quran berisikan ayat-ayat yang mendukung  penekanan Mu`tzilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat -ayat yang dapat mendukung pandangan Asy`ariah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan i lahiah. Betapapun, Al-Quran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuasaan  ilahiah dalam masalah bimbingan. Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan  eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia, dan membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka
bumi. Nampak bahwa Al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan:  “Manusia adalah umat yang satu;  maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Ia menurunkan bersama mereka Kitab denga benar,  untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”
Berdasarkan  bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam Al-Quran. Ayat-ayat tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada Allah.  Dengan kata lain, perintah-perintah moral tertentu jelaslah didasarkan pada watak umum manusia dan dianggap sebagai terlepas dari keyakinan-keyakinan spiritual tertentu, meskipun semua bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari Allah. Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks al-Quran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial,
karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, Al-Quran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi masyarakat-masyrakat agama  yang berlainan dan memperingatkan umat manusia untuk “tampil dengan perbuatan-perbuatan baik”: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat religius)  Kami berikan aturan dan jalan (tingkah laku). Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (berdasarkan pada aturan dan jalan itu),  tetapi, (ia tidak melakukan demikian). Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu samalain) dalam berbuat baik. Karena Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang kamu perselisihkan itu.” Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, yang diakui  secara obyektif, tak soal dengan  perbedaan keyakinan-keyakinan religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai menggabungkan kebajikan moral tersebut dengan kepasrahan religius yang sempurna.  Bahkan, “barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati ”.
Jelaslah ,  disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan  obyektif  dan teistis, dimana keadilan obyektif  diperkuat lagi oleh tindakan-religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa Al-Quran menunjukkan
sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan positif dalam masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena Al -Quran mengakui keadilan teitis dan obyektif, maka mungkin untuk mengistilahkannya keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh Aristoteles  –  yaitu, suatu produk dari kekuatan natural bukan dari kekuatan sosial. 
Mengakui Aristoteles, para sarjana seringkali menyamakan keadilan Ilahiah dengan keadilan natural, tetapi, tidak seperti pakar-pakar hukum natural yang memperhatikan  hubungan keadilan dengan masyarakat, faqih-faqih memusatkan usaha mereka pada konsep keadilan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan dan menghubungkannya dengan nasib manusia. Alim-alim tersebut berpendapat bahwa keadilan Ilahiah merupakan tujuan akhir dari wahyu islam, yang diungkapkan dalam bentuk awalnya dalam hukum-hukum
islam yang suci (syari`ah).
b.  Maksud syariah : cita keadilan sosial hukum Islam
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam  filasafat  hukum Islam adalah konsep  maqasid at-tasyri'  atau maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana  terdapat hukum Allah."
Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan
sosial dalam istilah filsafat hukum. Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan
kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari  maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut.
Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami  maqasid al-syari'ah  dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum iammemahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.Kemudian imam al-Juwaini  mengelaborasi  lebih jauh maqasid al-syari'ah itu dalam hubungannya dengan illat dan dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: yang masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder),
makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.  Dengan demikian pada prinsipnya imam al-Juwaini membagi tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah). 
Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. Al-Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan tema istislah.
 Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al-syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.
Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqasid al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi'iyah. beliau lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat. Menur-utnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala  prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat, dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.


Pembahasan tentang  maqasid al-syari'ah  secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiganpembahasannya mengenai maqasid al-syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta.
Konsep maqasid al-syari'ah atau maslahat   yang dikembangkan oleh
al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari'ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nas. Sesuai dengan pernyataan al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari'ah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi.
Pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat.  At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Alquran, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Alquran, sunnah dan ijma' itu akan menyusahkan manusia . Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat at-Tufi tersebut adalah mu'amalah.Sejak awal syari'ah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari'ah Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir-batin; duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap nas, seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi,  telah membuat prinsip maslahat
hanya sebagai jargon kosong, dan syari'ah-yang pada mulanya adalah jalan-telah menjadi jalan bagi dirinya sendiri.  
Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat, keadilan. Proses pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam
konteks formal, misalnya melalui cara  qiyas. Akan tetapi, seperti diketahui, qiyas  haruslah dengan  illat, sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri. Akan tetapi itulah struktur pemikiran hukum Islam.  Tidak  mengherankan apabila wajah fiqh selama ini tampak menjadi dingin, suatu
wajah fiqh yang secara keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat manusia.
Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal, atau- dalam ungkapan yang lebih operasional-  "keadilan sosial". Tawaran teoritik (ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nas atau  pun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maslahat kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana
pun, yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maslahat, lebih lebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah  fasid, dan umat Islam secara orang perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegahnya. Dengan paradigma di atas, kaidah yang selama
ini dipegang oleh dunia fiqh yang berbunyi: Apabila suatu hadis teks ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah mazhabku, secara meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam Islam lebih 


mengutamakan bunyi harfiyah  nas  daripada kandungan substansialnya. Atau, dalam dunia pemikiran fiqh, lebih mengutamakan  -  atau bahkan hanya memperhatikan-  bunyi ketentuan legal-formal, daripada tuntutan maslahat (keadilan), yang  notabene  merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi: jika tuntutan maslahat, keadilan, telah menjadi sah- melalui kesepakatan dalam musyawarah- itulah mazhabku.  Filsafat Hukum
 

Dengan tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu maslahat-keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum  harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang sah, bagaimana pun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah merupakan cara bagaimana cita maslahat, keadilan, itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Ini berarti bahwa ketentuan formal-tekstual, yang bagaimana pun dan datang dari sumber apa pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini terbuka untuk, kalau perlu, diubah atau diperbarui sesuai dengan tuntutan maslahat, cita keadilan.
Apabila jalan pikiran di atas disepakati, secara mendasar kita pun perlu meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep usul fiqh tentang apa yang disebut  qat'i  (yang pasti dan tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dan  zanni (yang tidak/kurang pasti dan bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dalam hukum Islam.
Fiqh selama ini mengatakan bahwa yang qat'i adalah hukum yang secara sarih ditunjuk oleh nasAlquran/hadis Nabi. Sedangkan yang Zanni adalah apa-apa (hukum) yang petunjuk nasnya kurang/tidak sarih, ambigu dan mengandung pengertian yang bisa berbeda-beda.Sesungguhnya, yang qat'i dalam hukum Islam - sesuai dengan makna harfiyahnya: sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental- adalah nilai maslahat atau keadilan itu sendiri, yang  nota bene  merupakan jiwanya hukum. Sedang yang masuk kategori  zanni  (tidak pasti dan bisa diubah-ubah) adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif, yang dimaksudkan sebagai upaya yang menerjemahkan yang  qat'i  (nilai maslahat atau keadilan) dalam kehidupan nyata. Sehingga kalau dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi untuk daerah  qat'i, dan hanya bisa dilakukan untuk hal-hal yang  zanni, itu memang benar adanya. Cita "maslahat dan keadilan" sebagai hal yang qat'i dalam hukum Islam, memang tidak bisa- bahkan juga tidak perlu- untuk dilakukan ijtihad guna menentukan kedudukan hukumnya, apakah wajib, mubah atau bagaimana.
  Filsafat Hukum Islam                                               
Yang harus diijtihadi dengan seluruh kemampuan mujtahid adalah hal-hal yang  zanni, yang tidak pasti, yang memang harus diperbarui terus-menerus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu yang juga terus bergerak. Yakni, pertama, definisi tentang maslahat, keadilan, dalam konteks ruang dan aktu nisbi dimana kita berada; kedua, kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita maslahat- keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu; dan ketiga, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma maslahat-keadilan, seperti dimaksud pada poin pertama dan kedua, dalam realitas sosial yang bersangkutan. Untuk  mempermudah pemahaman, dapat dikemukakan satu ilustrasi syari'at zakat. Tujuan disyari'atkan zakat adalah jelas: terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama dengan prinsip yang kuat membantu yang lemah. Di sini tidak ada keperluan sedikit pun untuk melakukan ijtihad guna menentukan hukumnya menegakkan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh konsep zakat tersebut.

Yang perlu dilakukan ijtihad adalah dalam hal-hal berikut ini: pertama, mendefinisikan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan  dalam konteks ruang dan waktu tertentu, misalnya konteks bangsa Indonesia dalam dasawarsa kini dan mendatang; kedua, berapa beban yang harus ditanggung oleh mereka yang mampu (miqdar al-zakah), atas basis kekayaan apa saja (mahall al-zakah), kapan harus dibayar (waqt al-ada), dan siapa-siapa serta dimana alamatnya yang secara riil dan definitif harus diuntungkan oleh zakat,
dan sektor apa saja yang secara riil dan definitif harus didukung oleh dana zakat (masraf al-zakah), dan sebagainya; dan ketiga, kelembagaan apa saja yang seharusnya tersedia dalam realitas sosial politik Indonesia yang bisa mendukung terwujudnya keadilan sosial dengan zakat tersebut; bagaimana mekanisme pembentukannya, kerjanya dan kontrolnya.  Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam teks ajaran atau dalam pendapat para ulama mengenai persoalan pada ketiga point tersebut, tidak ada yang qat'i. Semuanya zanni, dan karena itu bisa-bahkan tidak terelakkan- untuk disesuaikan, diubah, kapan saja tuntutan maslahat-keadilan menghendaki. Misalnya, tentang  amwal zakawi ; tidaklah adil untuk zaman sekarang, kita
hanya mengenakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, sementara "kelapa sawit", apel, kopi, tembakau", yang tidak kalah ekonomisnya, kita bebaskan begitu saja. Juga, tidak adil kita kenakan beban
sedekah wajib atas pendapatan sektor pertanian, sementara dari sektor industri dan jasa justru kita merdekakan.
Demikian pula, tidak sesuai lagi dengan maslahat keadilan yang nyata kalau  sabilillah, sebagai salah satu dari  mustahik zakat,  hanya didefinisikan dengan "tentara di medan perang melawan orang kafir", sementara aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pembela hukum, tetap kita letakkan di luar orbit missi ketuhanan untuk tegakkan orde keadilan. Lalu akibatnya kita semua tahu, rakyat cenderung melepaskan mereka dari tuntutan moral. Mereka sendiri cenderung merasa bebas dari tuntutan itu. Dengan meletakkan mereka pada barisan  sabilillah, kita telah memberikan justi fikasi dan sekaligus kepedulian (kritik) sosial kita terhadap peran dan aktivitas mereka, dengan acuan nilai ketuhanan, keadilan. Kalau acuan hukum-  juga hukum dalam kacamata Islam, yakni syari'at- adalah maslahat keadilan, pertanyaan yang akan segera muncul adalah, bagaimana "maslahat, atau keadilan" itu dapat didefinisikan, dan siapa punya otoritas untuk mendefinisikannya. Tidak syak lagi, pertanyaan ini sangat penting dan menentukan. Gagal menjawab pertanyaan ini, akan kembali berimplikasi untuk memperkatakan bahwa maslahat-keadilan sebagai tujuan syari,at (hukum), telah dijadikan tujuan bagi dirinya sendiri. Maslahat keadilan hanya jargon kosong belaka. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu membedakan antara maslahat yang bersifat "individu subyektif" dengan maslahat yang bersifat "sosial-obyektif".Maslahat yang bersifat individual-subyektif, adalah
maslahat yang menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial bersifat independen, dan terpisah, dengan kepentingan orang lain. Dalam maslahat kategori ini, karena sifatnya yang sangat  subyektif, yang berhak menentukan dan sekaligus sebagai hakimnya tentu saja adalah pribadi bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang berhak menentukan apa yang secara personal-subyektif dianggap maslahat oleh seseorang  , Sedangkan maslahat yang bersifat sosial-obyektif adalah maslahat yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang berhak memberikan penilaian yang dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme  syura  untuk
mencapai kesepakatan (ijma'). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak, di mana kita merupakan bagian daripadanya, itulah hukum tertinggi yang mengikat. Kalau dipertanyakan kedudukanhukum atau ketentuan-ketentuan legal-normatif yang ditawarkan oleh wahyu (teks Alquran atau hadis), kedudukannya adalah  sebagai    material yang  -  juga dengan logika maslahat sosial yang obyektif, bukan dengan logika kekuatan atau kepercayaan yang subyektif,- masih harus dibawa untuk ditentukan statusnya ke dalam lembaga permusyawaratan. Apabila kita berhasil membawanya sebagai bagian dari kesepakatan orang banyak, ia berfungsi sebagai hukum yang secara formal-positif mengikat. Akan tetapi, apabila gagal memperjuangkannya sebagai kesepakatan, daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang-orang yang mempercayainya. Dan daya ikat seperti ini paling jauh hanya bersifat moral-subyektif, tidak bisa sekaligus formal-obyektif. Memang, dengan mempertaruhkan "maslahat dan sekali gus norma hukum yang bersumber padanya" pada  ijma'  lembaga  syura, atau keputusan lembaga parlemen dalam terma ketata-negaraan modern, bukan tidak ada kelemahannya. Tidak jarang apa yang disebut kesepakatan lembaga  syura, parlemen, ternyata hanya merupakan hasil rekayasa segelintir elit yang berkuasa. Akan tetapi inilah tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam, yang sebenarnya adalah juga tantangan bagi rakyat -manusia di mana pun mereka berada. Yakni, bagaimana mereka bisa mengusahakan tumbuhnya
satu pranata kesepakatan umat, di mana rakyat- secara langsung atau melalui wakilnya-  dapat mengemukakan pendapat dan pilihannya perihal tata-kehidupan yang menurut mereka lebih mencerminkan cita maslahat dan keadilan.
sekian artikel tentang teori keadilan menurut filsafat hukum islam
teori keadila islam 
 sumber
  artikel teori keadila :
Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo: al-Amiriyah, 1412).
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,).
Carl Joachim Friedrich,  Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004.
Izzuddin ibn Abd al-Salam,  Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam  (Kairo:
al-Istiqamat, t.t).
John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973,  yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Mumtaz Ahmad (ed),  Masalah-Masalah Teori politik Islam, Bandung: Mizan,
1994.
Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo:
Dar al-Ansar,1400 H).
Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti,  Dawabit al-Maslahah fi as-Syariah
al-Islamiyah, (Beirut: Mu'assasah ar-Risalah,1977).
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah"
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995.
Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum 
Indonesia (Medan :Pustaka Widyasarana,1995).
Najmuddin at-Tufi,  Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah  dalam Mustafa Zaid.
1954.  al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, Mesir:
Dar al-Fikr al-Arabi. 
Theo Huijbers,  Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta:
kanisius, 1995.

 

Preventing Illness and Disease

 Preventing Illness and Disease .Illnesses and injuries affect everyone at some point in life. That is why it is important to think about how to prevent getting sick or injured. There is a saying: "An ounce of prevention is worth a pound of cure." This means that even a small amount of prevention will save a lot of time lost from getting sick or injured. Amazingly, there is a wide variety of ways that each individual can try to protect her or his own health and well-being. Starting in childhood, a person can establish a healthy diet and physical fitness program and begin other healthy habits that will greatly reduce the likelihood of future illnesses and injuries.

The health benefits and risks of foods has been and will always be a source of excitement, controversy, and research. Although it might seem that dietary recommendations change frequently, the consistent findings are that getting adequate sources of vitamins, minerals, and antioxidants through foods are the best way to stay healthy. Eating a diet rich in fruits and vegetables, and moderate in everything else, has been consistently found to be most beneficial. A general rule is that the darker the color of the fruit or vegetable, the more nutritional value it has. Cancer-fighting chemical groups include phytochemicals and antioxidants. Some of the most beneficial foods, according to recent research include the following:

    Tomatoes—Tomatoes and tomato products contain vitamin C and lycopenes, antioxidant cancer-fighting chemicals that reduce digestive tract (and for men, prostate) and other types of cancer.

    Broccoli—Broccoli contains phytochemicals that are thought to make cancer cells less toxic (destructive). Also contains beta-carotene, vitamin C, calcium, and fiber.

    Spinach—Spinach is rich in folate, fiber, and iron—nutrients needed especially in women. Other similar beneficial vegetables include kale, Swiss chard, and collard greens.

    Tea—Tea contains phytochemicals, which are cancer-cell fighters. Green tea has been associated with a lower risk of stomach, esophageal, and liver cancers.

    Nuts—Monounsaturated and polyunsaturated fats in nuts improve levels of cholesterol by lowering triglycerides and LDL along with raising HDL, preventing heart disease and stroke. Nuts also contain fiber and Vitamin E, both of which prevent heart disease and cancer. 

Beyond exercise

Without question, the most important positive action you can take to prevent illness and disease is exercise. Exercise prevents a long list of diseases that can cause chronic or severe illness, disability, and even death, including cancer, heart disease, stroke, high blood pressure, vascular disease, diabetes, obesity, and osteoporosis. Exercise also prevents mental health illness and disease disorders, including depression, anxiety, and stress. While some of these disease processes can be reversed with exercise and healthy life-style, some cannot. Preventing them from starting is the number one goal.

Not Smoking

The most negative lifestyle behavior is smoking. Smoking contributes to the development of almost all diseases, notably cancer, heart disease, high blood pressure, high cholesterol, diabetes, and asthma. Smoking has the following negative health effects: lowers immunity, making you more likely to get bronchitis, colds, and other infections; interferes with breathing by causing wheezing and asthma; causes snoring and sleep apnea; impairs fine motor skills, leaving you shaky and unable to control your hands. Athletes who smoke have decreased endurance and are more likely to suffer from exercise-induced asthma.


If you quit smoking before the diseases becomes chronic, you can reverse most of the effects smoking has on the body—breathing, snoring, immunity, and risk of cancer, heart disease, and high blood pressure all improves. Problems exist, however, if smoking has done permanent damage. Severe smoking-related diseases, including cancer, emphysema, and coronary artery disease, are permanent.

HEALTH TIP The best thing you can do for your body is exercise; the worst is smoke.


Because doctors and health professionals are trained to recognize, treat, and prevent illness, following their advice is recommended. Each person has different risks of diseases based on genetics and other health history; therefore health recommendations can be slightly different for each individual.


Defenisi , Gejala , Tanda Dan Penanganan Stroke

Tahukah anda stoke ! disini mencoba menjelaskan tentang stroke
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak.Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.

Pengertian Stroke
a. Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang dikarenakan berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba (Adib, 2009). Masih menurut Adib, otak mendapat aliran darah lebih kurang 55cc/gr/menit (15% cardiac output) dan bila aliran darah menurun kurang dari 20cc/gr/menit akan mengakibatkan gangguan fungsi sel otak. Penghambatan aliran oksigen ke sel-sel otak selama 3 atau 4 menit saja sudah mulai menyebabkan kerusakan sel-sel otak.Gejala struk

b. WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak.


c.  Stroke adalah tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Sjahrir, 2003).


Jadi, Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.
Klasifikasi Stroke
Menurut Marliani (2007), secara garis besar, stroke dibagi dua, yaitu :
a.  Stroke iskemik. Jenis ini paling sering dijumpai. Terjadi karena pembuluh darah arteri tersumbat plak yang timbul karena tekanan darah tinggi ataupun penumpukan lemak. Akibatnya, aliran darah ke otak tak lancar. Stroke iskemik meliputi kurang lebih 88% dari semua stroke.
b.    Stroke perdarahan, atau biasa dikenal dengan stroke hemoragis, disebabkan pembuluh darah bocor atau pecah di dalam otak. Darah yang menggenangi otak membuat fungsi otak terganggu. 
Tanda Dan Gejala Stroke

Gejala-gejala yang terjadi berbeda-beda tergantung dari jenis strokenya, yaitu (Marliani, 2007) :
a.    Infark otak atau kurangnya aliran darah ke otak karena sumbatan pembuluh darah. Kejadian serangan biasanya mendadak, kadang bertahap atau didahului TIA (prastroke). Penderita sering mengeluh sakit kepala disertai muntah. Umumnya kelainan saraf dirasakan pada waktu bangun tidur atau sedang istirahat. Infark otak ini paling sering terjadi pada usia tua dengan hipertensi atau usia muda dengan kelainan jantung. Pada permulaan sakit, kesadaran umumnya tidak terganggu. 


b.    Perdarahan otak. Serangan sangat mendadak diikuti rasa sakit kepala hebat, muntah-muntah dan kadang disertai kejang. Perdarahan otak umumnya terjadi pada usia tua atau setengah tua, dengan atau tanpa hipertensi, tergantung dari faktor penyebabnya. Kadang-kadang disertai pula dengan gejala kaku kuduk.
Penanganan Stroke. 
Penderita stroke biasanya mengalami kehilangan kesadaran sehingga harus selalu dibawa ke rumah sakit sebelum terjadi komplikasi lain. Berikut pertolongan pertama yang dapat dilakukan di rumah sebelum dibawa ke rumah sakit menurut Adib (2009) :cara mengatasi struk
a. Bila penderita pingsan atau mengorok, segera bawa ke rumah sakit. Saat dibawa ke rumah sakit, perhatikan jalan napas penderita agar tetap lancar. Bila mulut atau hidung penderita mengeluarkan busa, segera dibersihkan. Kadang-kadang penderita muntah. Segera sisa muntahnya dibersihkan dari mulut maupun hidungnya, sambil posisi berbaring tubuhnya dibuat miring. Hal ini penting untuk menghindarkan agar sisa muntahnya tidak masuk ke jalan napas yang dapat mengakibatkan komplikasi infeksi saluran napas bahkan dapat menyumbat jalan napas sehingga menyebabkan kematian.

b. Hindari memberi minum atau makanan pada penderita yang sedang pingsan, atau kesadarannya tampak menurun dibanding dengan orang normal. Hal ini untuk mencegah agar air atau makanan yang diberi tidak mengganggu jalan napas penderita tersebut.


c. Bila penderita mengalami salah satu gejala yang disebutkan di atas, namun penderita tetap sadar, penderita sebaiknya tetap dibawa ke rumah sakit. Penderita yang masih sadar dapat dibawa dalam posisi duduk atau berbaring, tergantung kenyamanan penderita.
d. Sebaiknya tidak panik bila menemukan seseorang terserang stroke. Bila serangan stroke cepat ditangani, mudah-mudahan hasilnya akan lebih baik daripada kita panik dan akhirnya tidak melakukan apa-apa. 
Penanganan Pasien Stroke Selama Menunggu Dokter 
Berikut pertolongan darurat pada penderita stroke selama menunggu dokter.

a. Jika orang itu sadar, tenangkan dia. Baringkan dengan hati-hati, taruh bantal di bawah kepalanya dan selimuti.

b. Jika orang itu tidak sadar, periksalah pernapasannya. Bila masih bernapas, miringkanlah badannya dan biarkan kepalanya di atas lantai. Selimuti dia.

c. Jika pernapasannya berhenti, bila anda ahli, segera berikan pernapasan buatan dari mulut ke mulut (resusitasi). Prioritas utama adalah mengusahakan penderita bernapas kembali. Ingat bahwa bila pernapasan terhenti dalam 2-3 menit, akan terjadi kersakan otak,dan bila sampai 4-6 menit, akan terjadi kematian.

d. Bila penderita tersebut sebelumnya terjatuh, periksa apakah terajdi perdarahan hebat. Hentikan perdarahan dengan melakukan penekanan selama 5 menit di atas lukanya.
Gejala Stroke
 

Popular Posts

Cloud