Penetapan Awal Bulan ramadhan dan Awal lebaran



صُوْمُوا  لِرُؤْيـَتِهِ  وَاَفْطِرُوْا  لِرُؤْيـَتِهِ , رواه متفق عليه  
Artinya:

Akan tetapi dalam lafadhz رؤية  kebanyakan dari Ulama berpendapat; bahwa makna dari رؤية   itu sendiri adalah “Melihat dengan kasat mata (ru’yah bil fi’li)”.
Berawal dari hadist Nabi diatas bahwa penetapan awal bulan puasa dan Lebaran adalah bersetandarkan kepada ru'yatul hilal yaitu melahat dengan mata telanjang.

 Ada juga yang berbendapat ru’yat itu sendiri adalah “Melihat dengan pemikiran/perhitungan (hisab-dengan kata lain wujuudul Hilaal)”, perlu digaris bawahi bahwasanya perbedaan pendapat ini bukan terjadi pada zaman kekinian saja namun sudah terjadi pada beratus-ratus tahun hijriah yang silam.

Dengan demikian dapatlah ditarik suatu konklusi bahwa perbedaan awal bulan Ramadhan dan akhirnya serta bulan Syawwal, Dzul Hijjah dsb didasari karena adanya keberagaman prinsip, sebab pada dasarnya dalam penetapan awal bulan itu terbagi pada 3 versi  :

I.    Ru’yat bil fi’li
II    Imakanur Ru'ya'III.    Wujuudul Hilaal
Ru'yah dengan mata kepala adalah bisa dilakukan oleh siapa pun selagi matanya masih nomal  adapun yang berpendapat tentang ketetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, Dzul Hijjah dsb dengan berpatokan pada Ru’yah bil Fi’li, maka terbagi pada dua qoul :
1.1.    Muthlak, yaitu tanpa meninjau imkanur ru’yah, sebagimana keterangan yang diambil dari pendapat Imam Romly:
ثُبـُوْتُ رُؤْيـَةِ الهِلاَلِ عِنْدَ الحَاكِمِ بِعَدْلٍ وَاِنْ دَلَّ الحِسَابُ القَطْعِيُّ عَلىَ عَدَمِ اِمْكَانِ رُؤْيَتـِهِ
Artinya:
Serta diperkuat oleh pendapat al Ustadz DR. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Fiqhul Islaam wa Adillatih juz ke-3 hal. 1653 yang berbunyi:
وتثبت برؤية الهلال لأنّ الشارع اناط الصوم والفطر والحج دون بوجوده
Dan dijelaskan juga oleh Syekh Alwi al Maliky dalam kitab Ibaanatul Ahkam juz ke-2 hal. 287:
عدم الالتفات الى المنجّمين وعلماء الفلك
Artinya:
1.2.    Muqoyyad, yaitu melihat bulan dengan meninjau imakanur ru’yah ( ) diantaranya adalah pendapat Imam Ibu Hajar, Imam Qolyuuby dan Imam Syarwani.
Adapun pendapat mengenai ketetapan awal bulan Hijriyyah dengan Wujuudul Hilaal sama juga terbagi pada dua kriteria:
2.    1. Muthlak, yaitu bilamana hilaal berada di atas ufuk dan ijtima’ (konjungsi) sebelum terbenamnya matahari maka itu disebut dengan wujuudul Hilaal. Maka apabila itu terjadi maka keesokan harinya merupakan awal bulan. sebagian Ulama ada yang mengenankan bagi Haasib untuk mengamalkan hasil perhitungannya yang berarti dengan wujuudul Hilaal itu sendiri. Sebagaimana dengan pendapat yang diutarakan oleh Imam Baghowi dalam Tahdib, juz ke-3 hal. 147:
يجوز للحاسب ان يعمل بحسابه لأنّ القمر يعرف وقوعه بعد الشمس بالحساب
Artinya:
“Boleh bagi si penghitung (haasib) untuk mengamalkan perhitungannya, karena sesungguhnya bulan itu dapat diketahui keberadaannya diatas ufuk setelah matahari terbenam dengan perhitungan (hisab).”
2. 2.