Landasn Pendidikan Seks dalam Islam

Posisi Hukum Islam  terhadap Seks
Pengembangan hukum nasional dilandasi oleh tiga wawasan, yaitu Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara dan Wawasan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga wawasan tersebut mengacu kepada tujuan pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya Sistem Hukum Nasional. Dengan wawasan ini, pembangunan hukum nasional melingkupi tiga komponen pokok , yaitu perangkat hukum, tatanan hukum dan budaya hukum.11
Dari aspek perangkat hukum, pembangunan terarah pada pembangunan asas, kaidah dan norma hukum nasional, termasuk penyusunan peraturan perundang-undangan dan pembangunan yurisprudensi. Dari aspek tatanan hukum, pembangunan hukum nasional mencakup pengembangan organisasi, kelembagaan, skruktur dan mekanisme hukum, pembinaan aparatur dan peningkatan sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum. Sedangkan dari aspek budaya hukum, pembangunan diarahkan untuk membina dan mengembangkan filsafat, kesadaran, profesionalisme dan pendidikan nasional.
Setiap langkah pengembangan dalam setiap aspek pembangunan hukum di atas, hukum Islam telah dan akan memberi kontribusinya yang bermakna. Lembaran sejarah menunjukkan bahwa di wilayah Nusantara telah berkembang paling tidak tiga sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Hukum adat sendiri sebelum datang dua sistem hukum yang lain telah menerima pengaruh hukum Hindu dan dari beberapa peradaban luar lainnya. Hukum yang berasal dari Barat, meskipun bertumpu pada hukum yang dikonkordansikan dari hukum di Negeri Belanda, juga menerima pengaruh dari sistem hukum lainnya, terutama Perancis dan Inggris. Interaksi antarberbagai sistem hukum inilah yang berkembang dan berlaku selama zaman pra-kemerdekaan, namun supremasi kepentingan kolonial sangat menonjol.
Fungsi dan kedudukan hukum Islam sendiri dalam konstelasi hukum positif di Indonesia, oleh karenanya, mengalami fluktuasi. Hukum Islam pernah diakui sebagai hukum yang berlaku, baik formal maupun aktual, dalam berbagai kerajaan dan kesultanan di berbagai wilayah Nusantara. Selama fase pertama kekuasaan kolonial, penjajah mengambil kebijaksanaan non-interferensi dan menganut teori receptie in complexu, menyatakan bahwa hukum Islam berlaku sepenuhnya dan seluruhnya bagi setiap warga pribumi yang Muslim. Belakangan, teori ini digeser oleh teori receptie, yang menyimpulkan bahwa penduduk pribumi Nusantara meskipun telah memeluk Islam tidak dengan sendirinya mengamalkan hukum Islam, tetapi baru mengikuti kaidah hukum Islam jika telah diterima sebagai bagian dari hukum Adat mereka.


Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 dinyatakan berlaku, maka keberadaan hukum Islam menjadi bahan perbincangan kembali sejalan dengan semangat merdeka di bidang hukum. Secara umum, para akademisi dan praktisi hukum terpilah atas dua kelompok. Yang satu berpendapat bahwa berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945, peraturan perundangan yang berlaku di masa pemerintahan Hindia Belanda masih berlaku selama belum diadakan peraturan baru sesuai dengan UUD 1945. Ini berarti seluruh perangkat peraturan dan kebijaksanaan kolonial --termasuk teori receptie-selama belum diciptakan yang baru masih tetap berlaku.
Kelompok kedua berpendirian bahwa UUD 1945 telah berisi diktum-diktum tentang dasar negara Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan tentang kedudukan agama dalam pasal 29, maka semua yang bertentangan dengan ketentuan itu, termasuk teori receptie, tidak berlaku lagi. Ini diperkuat dengan Maklumat Presiden No. 2/1945 tanggal 10 Oktober 1945, yang memberikan batasan bahwa hukum yang berlaku hanyalah hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 saja.12 Di bawah naungan UUD 1945, hukum Islam mendapat kedudukan mandiri yang tidak lagi disandarkan keberlakuannya pada hukum adat. Para pendukung pemahaman ini malah menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam, teori inilah yang disebut 'receptio a contrario'.13


Teori ini juga didukung oleh berbagai hasil penelitian yang dilakukan terutama oleh BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan kuat bahwa orang Islam menghendaki dan memperlakukan hukum Islam dalam kehidupannya, termasuk dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan. Posisi hukum selanjutnya tidak lagi ditentukan oleh politik hukum kolonial, tetapi diselaraskan dengan kebijakan hukum nasional, terutama sebagaimana digariskan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Kebijakan yang kelihatannya telah diterima adalah bahwa dalam konteks pembinaan hukum nasional, hukum Islam menjadi salah satu bahan dan sumber, selain dari hukum adat dan hukum Barat. Pada penggal terakhir masa Orde Baru, ketika tuntutan keadilan mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam tidak bisa diabaikan lebih lama lagi, kedudukan hukum Islam semakin mencuat. Titik-balik kebijaksanaan barangkali bisa diwakili dengan gejolak yang mendahului lahirnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, kemudian disusul oleh UUD No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Gelombang reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, akhirnya makin mempertegas supremasi hukum dan perundang-undangan serta memperkuat kedudukan nilai-nilai agama dalam berbangsa dan bernegara.
lanjutan